Jumat, 18 Desember 2009

Bili-Bili


BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Peranan Bendungan Bili-Bili
Daerah hulu yang menjadi kunci utama dalam menjaga kelstarian air memang perlu mendapat perhatian khusus baik dari pemerintah maupun masyarakat. Kerena kerusakan-kerusakan yang terjadi di daerah hulu akan di rasakan oleh daerah hilir. seperti kerusakan hutan kekurangan air di musim kemarau akan terjadi dan kelebihan air (banjir) akan di rasakan pada musim hujan.
Tentu saja ini merupakan masalah yang serius mengingat kelestarian alam merupakan prioritas utama dalam zaman modern ini. Untuk kota Makassar khususnya ruang terbuka hijau sudah sangat jarang dijumpai karena perkembangan kota yang tidak memperhatikan dampak yang akan terjadi dimasa mendatang. Banjir, kekeringan, gersang dan berpolusi menjadi ciri khas kota Makassar padahal perkembangan kota yang ideal tidak selamanya menonjolkan banyak gedung melainkan bagaimana menyeimbangkan tingkat kesesuaian lahan terhadap perkembangan kota.
Inisiatif untuk mengendalikan sedimen gunung Bawakareng dan pengaturan sungai Jenneberang mulai dilakukan akibat longsong yang terjadi di gunung Bawakaraeng dan badai besar sungai Jenneberang terjadi pada tahun 2004 dan 2005. Pembuatan reservoad atau penampungan air yang mulai dibicarakan pada fase I pada tahun 1978 merupakan rencana yang pelaksaannya pada tahun 1995-2001 yang sekarang dikenal dengan Bendungan Bili-Bili.
Adapun peranan bendungan Bili-Bili Kelurahan Bili-Bili Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa antara lain :
·         Memperbaiki kondisi yang disebabkan oleh banjir yang terjadi di Makassar dan sekitarnya dengan melaksanakan perbaikan sungai, perbaikan sistem drainase dan pengaturan aliran debit banjir dengan membangun bendungan.
·         Pengembangan sumber daya air dengan menampung air sungai untuk memenuhi kebutuhan air baku, irigasi dan tenaga listrik.
Berikut kapasitas bendungan Bili-Bili Kelurahan Bili-Bili Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa antara lain :
·          Kapasitas total                        375.000.000 m3
·         Kapasitas efektif         346.000.000 m3
·         Kapasitas banjir           41.000.000 m3
·         Alokasi air irigasi        27.000.000 m3
·         Kapasitas air beku       35.000.000 m3
·         Kapasitas Sedimen      29.000.000 m3
·         Tenaga listrik               20 Mw
·         Irigasi                          2,444 Ha
Dengan adanya bendungan Bili-Bili banjir di Kota Makassar dan sekitarnya bisa dikurangi serta kebutuhan air minum bisa terpenuhi. Serta energi potensial bendungan bisa membentuk energi listrik yang juga merupakan kebutuhan masyarakat. Bendungan yang bisa dikategorikan multi fungsi ini sangat berpengaruh untuk perkembangan Kota Makassar dan sekitarnya. Dan tentunya pemeliharaan bendungan ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah Kabupaten Gowa melainkan tanggung jawab bersama untuk daerah disekitarnya seperti Kota Makassar.


 

PLTA Bili-Bili
3.2 Masalah Bendungan Bili-Bili
Keberadaan suatu bendungan memang sangat membantu prasarana atau infrastruktur dalam suatu daerah tau kawasan. Maka perlu difikirkan bagaimana kemungkinan masalah apabila di buat suatu benudungan dengan harapan bahwa akan menyelesaikan banyak masalah dan meminimalkan kemungkinan masalah baru yang akan muncul. Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya di harapkan adanya proyeksi tentang apa yang akan terjadi kedepan.
Bencana alam merupakan salah satu faktor utama terjadinya masalah di bendungan Bili-Bili seperti longsor yang menyebabkan sedimen dari gunung Bawakaraeng  mendominasi aliran sungai Jenneberang. Akibatnya terjadi pendangkalan pada bendungan tersebut dan menyebabkan air menjadi keruh. Tentu saja ini merupakan masalah yang serius apabila selalu terjadi secara berkelanjutan dimana daya tampung atau kapasitas bendungan untuk menampung air menjadi berkurang bahkan bisa saja terjadi banjir besar-besaran di kota Makassar dan sekitarnya.
Dalam pemeliharaan bendungan berbagai cara dilakukan untuk memperpanjang usia bendungan. Mengingat masalah yang di hadapi merupakan kekuatan alam maka tak jarang  usaha yang dilakukan hilang dalam sekejab meski hanya bisa befungsi sementara waktu, contonya antara lain jembatan, penahan sedimen dan sebagainya.
Sangat disayangkan jika pemerintah tidak serius dalam menangani masalah bendungan Bili-Bili begitu pula partisipasi masyarakat sangat di harapkan paling tidak menjaga daerah hulu atau tidak melakukan pembabakan hutan yang menyebabkan volume air meluap dan menyebabkan peningkatan unsure sedimen dalam aliran sungai Jenneberang  pada saat musim hujan terjadi.












 

Kondisi aliran sungai Jeneberang                   kondisi Bendungan Bili-Bili
3.3 Posisi Bendungan Bili-Bili Ditinjau dari Aspek Geologi
Posisi bendungan merupakan faktor yang paling penting diperhatikan dalam pembuatanya dari segi apapun mengingat pengendalian atau pengaturan air tidak bisa di ucapkan saja melainkan harus ditindak lanjuti karena arah aliran air selamnya akan pada posisi yang sama yakni dari daerah yang tinggi ke daerah yang rendah.
Usia suatu bendungan juga ditentunkan oleh bagaimana penempatan posisi bendungan terhadap keadaan alam. Untuk itu perlu ada pertimbangan matang dan berkelanjutan untuk kemungkinan yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Perlu pula diketahui potensi yang di hasilakan bendungan terhadap suatu wilayah agar posisi yang ditetapkan tidak salah.
Dari aspek geologi posisi bendungan Bili-Bili memang bisa di kategorikan bermasalah karena terjadi banyak daerak patahan yang mengancam terjadinya bencana alam. Dengan proyeksi yang tidak pasti tentang kapan dan seberapa besar kemungkinan itu bisa terjadi memang bisa menjadikan posisi bendungan aman-aman saja. Tetapi peristiwa longsor gunung Bawakaraeng hingga satu bukit bisa hilang menjadikan  bendungan Bili-Bili dalam masalah yang serius dimulai dari penadangkalan dan kekeruhan.













 





















Posisi Bendungan Bili-Bili dari beberapa sisi
PENGEMBANGAN KAWASAN TEPIAN AIR
(WATERFRONT DEVELOPMENT)



A. PENDAHULUAN
Wrenn (1983) mendefinisikan waterfront development sebagai "interface between land and water". Di sini kata "Interface" mengandung pengertian adanya kegiatan aktif yang memanfaatkan pertemuan antara daratan dan perairan. Adanya kegiatan inilah yang membedakannya dengan kawasan lain yang tidak dapat disebut sebagai waterfront development - meski memiliki unsur air – apabila unsur airnya dibiarkan pasif. Dengan demikian pengertian waterfront development dapat dirumuskan sebagai pengolahan kawasan tepian air yaitu kawasan pertemuan antara daratan dan perairan dengan memberikan muatan kegiatan aktif pada pertemuan tersebut. Perairan yang dimaksud bisa berupa unsur air alami (laut, sungai, kanal, danau) atau unsur air buatan (kolam, danau buatan). Sedangkan muatan kegiatan bias berupa aktivitas perairan seperti berperahu (dayung atau layar) atau aktivitas pantai (pesisir, promenade, atau esplanade) yang memanfaatkan pemandangan perairan. Pengertian waterforn development telah demikian berkembang, sehingga mencakup pengembangan kawasan yang sama sekali jauh dari sumber air alami. Sebagai contoh, dalam rangka Expo '82 di Knoxville, Tennessee (USA), suatu kawasan bekas stasiun kereta api telah dirombak menjadi sebuah taman air aktif yang dapat dikategorikan sebagai sebuah waterfront development.
Pengembangan kawasan tepian air (waterfront development) merupakan trend yang melanda kota-kota besar dunia sejak tahun 80-an, dan tampak masih akan digemari sampai dasawarsa mendatang. Jenis pengembangan ini dirintis sejak tahun 60-an oleh kota-kota pantai di Amerika yang memanfaatkan lahan-lahan kosong bekas pelabuhan lama untuk dikembangkan menjadi kawasan bisnis, hiburan, serta permukiman. Sukses Amerika ini segera ditiru oleh kota-kota pelabuhan Eropa dan kemudian menyebar ke segala penjuru dunia. Beberapa hal yang menjadi kunci keberhasilan waaterfront development adalah dibangkitkannya kembali kenangan lama akan kota yang didominasi oleh kegiatan perairan, kemudahan pencapaian karena lokasinya yang dekat dengan pusat kota, serta luar lahan yang cukup besar yang ada pada saat ini sudah sulit ditemukan lagi di dalam kota .
kecenderungan membangun kawasan tepian air ini juga telah melanda kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta. Keberhasilan reklamasi pada rawa-rawa di pantai utara Jakarta yang melahirkan sarana rekreasi Ancol telah mendorong pembangunan kawasan tepian air lainnya seperti Pantai Mutiara dan Pantai Indah Kapuk. Kembali maraknya pembangunan di tepian air merupakan bagian perjalanan sejarah yang panjang, yang mencatat kaitan antara kota dengan air, yaitu: hubungan yang erat antara kota dengan air, kecenderungan untuk meninggalkan air, serta kecenderungan untuk kembali ke air (Mayer dalam Vanreusel, 1990).


a. Hubungan yang erat antara kota dengan air
Sejarah mencatat bahwa kota-kota lama selalu mempunyai hubungan yang besar, sebab mengandalkan hubungan dengan kota-kota lain terutama untuk keperluan perdangan melalui lalu lintas air. Oleh karenanya tidaklah mengherankan apabila pelabuhan merupakan tempat yang penting pada sebuah kota, sehingga sentral atau pusat kegiatan kota juga terletak di sekitarnya. Di kawasan sentral ini terletak bangunan-bangunan umum yang penting, pasar, serta ruang terbuka kota (plaza/central square). Kegiatan di perairan dan pelabuhan, seperti hilir mudik kapal-kapal serta bongkar muat barang, menjadi pemandangan yang menarik bagi warga kota. Di sekitar pelabuhan selalu dibangun promenade atau esplanade, yaitu pelataran yang ditinggikan untuk berjalan-jalan sambil melihat-lihat pemandangan perairan.

b. Kecenderungan untuk meninggalkan air
Kaitan yang erat antara kota dan air menjadi terganggu sejak industri berkembang pesat di kota-kota besar dunia, yaitu sekitar pertengahan abad 19. Volume kegiatan di pelabuhan menjadi berlipat ganda, gudang-gudang besar bahkan pabrik-pabrik didirikan di sekitar pelabuhan. Akibatnya pemandangan ke arah perairan menjadi terhalang. Pelabuhan menjadi tempat yang tidak nyawan dan tidak aman bagi warga kota untuk berjalan-jalan menikmati pemandangan. Sentra kotapun bergeser menjauhi perairan. Kemajuan teknologi melahirkan jenis-jenis kapal baru yang lebih besar dengan peralatan yang lebih maju dan menuntut fasilitas dermaga serta galangan kapal yang lebih besar. Untuk memenuhi tuntutan ini kota-kota tua harus membangun pelabuhan baru, sehingga pelabuhan lamanya kosong dan ditinggalkan. Kawasan luas yang kosong ini tidak jarang menjadi sarang kriminalitas. Kecenderungan kota-kota besar untuk membangun jalan raya bebas hambatan yang dibuat mengelilingi kota (ring road) ikut memperburuk keadaan, sebab menjadikan kawasan pelabuhan semakin terisolasi terpisah dari bagian kota lainnya.

c. Kecenderungan untuk kembali mendekati air
Pertumbuhan kota yang pesat, terutama setelah Perang Dunia II, menyebabkan banyak kota besar dunia menjadi demikian padat. Lahan di dalam kota menjadi semakin langka. Kawasan pelabuhan lama yang kebanyakan berupa dok-dok dan gudang-gudang yang telah ditinggalkan menjadi incaran investor untuk dapat membangun dalam skala besar. Ukurannya yang luas dan letaknya yang dekat dengan pusat kota merupakan kelebihan yang menjadikan kawasan ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai sarana komersial. Hal lain yang mendorong pengembangan kawasan tepian air adalah munculnya "kerinduan" kepada suasana kehidupan perairan yang telah lama ditinggalkan. Amerika merintis pembangunan kawasan eks-pelabuhan dengan proyek "Inner Marbor" di Baltimore, Maryland pada tahun 60-an dan disusul dengan proyek serupa di Boston serta kota-kota pelabuhan lainnya.

B. ASPEK DASAR PERANCANGAN
Dalam perancangan kawasan tepian air, terdapat dua aspek penting yang mendasari keputusan-keputusan serta solusi rancangan yang dihasilkan. Kedua aspek tersebut adalah faktor geografis serta konteks perkotaan (Wren, 1983 dan Toree, 1989).

a. Faktor Geografis
Merupakan hal-hal yang menyangkut geografis kawasan dan akan menentukan jenis serta pola penggunaannya. Termasuk di dalam aspek ini adalah
-       Kondisi perairan, yaitu jenis (laut, sungai, dst), dimensi dan konfigurasi, pasang-surut, serta kualaitas airnya.
-       Kondisi lahan, yaitu ukuran, konfigurasi, daya dukung tanah, serta kepemilikannya.
-       Iklim, yaitu menyangkut jenis musim, temperatur, angin, serta curah hujan.

b. Konteks perkotaan (Urban Context)
Merupakan faktor-faktor yang akan memberikan identitas bagi kota yang bersangkutan serta menentukan hubungan antara kawasan waterfront yang dikembangkan dengan bagian kota yang terkait. Termasuk dalam aspek ini adalah:
-       - Pemakai, yaitu mereka yang tinggal, bekerja atau berwisata di kawasan waterfront, atau sekedar merasa "memiliki" kawasan tersebut sebagai sarana publik.
-       - Khasanah sejarah dan budaya, yaitu situs atau bangunan bersejarah yang perlu ditentukan arah pengembangannya (misalnya restorasi, renovasi atau penggunaan adaptif) serta bagian tradisi yang perlu dilestarikan.
-       - Pencapaian dan sirkulasi, yaitu akses dari dan menuju tapak serta pengaturan sirkulasi didalamnya.
-       - Karakter visual, yaitu hal-hal yang akan memberi ciri yang membedakan satu kawasan waterfront dengan lainnya. Ciri ini dapat dibentuk dengan material, vegetasi, atau kegiatanl yang khas, seperti "Festival Market Place" (ruang terbuka yang dikelilingi oleh kegiatan pertokoan dan
-       hiburan). Konsep festival ini pertama kali dibangun di proyek Faneuil Hall, Boston, dan diilhami oleh dua jembatan toko kuno di Italia, yaitu Ponte Vecchio di Firenze dan Ponte Riaalto di Venezia.




C. ELEMEN PERANCANGAN
Dalam mengolah kawasan tepian air, beberapa elemen dapat diberikan penekanan dengan memberikan solusi disain yang spesifik, yang membedakan dengan olahan kawasan lainnya atau yang dapat memberikan kesan mendalam sehingga selalu dikenang oleh pengungjungnya. Di antara elemen-elemen penting dalam waterfront development adalah:

a. Pesisir
Kawasan tanah atau pesisir yang landai/datar dan langsung bertasan dengan air. Merupakan tempat berjemur atau duduk-duduk dibawah keteduhan pohon (kelapa atau jenis pohon pantai lainnya) sambil menikmati pemandangan perairan.

b. Promenade/Esplanade
Perkerasan di Kawasan tepian air untuk berjalan-jalan atau berkendara (sepeda atau kendaraan tidak bermotor lainnya) sambil menikmati pemandangan perairan. Bila permukaan perkerasan hanya sedikit di atas permukaan air disebut promenade, sedangkan perkerasan yang diangkat jauh lebih tinggi dari permukaan (sperti balkon) disebut esplanade. Pada beberapa tempat dari promenade dapat dibuat tangga turun ke air, yang disebut "tangga pemandian" (baptismal steps).

c. Dermaga
Tempat bersandar kapal/perahu yang sekaligus berfungsi sebagai jalan di atas air untuk menghubungkan daratan dengan kapal atau perahu. Pada masa kini dermaga dapat diolah sebagai elemen arsitektural dalam penataan kawasan tepian air, dan diperluas fungsinya antara lain sebagai tempat berjemur.

d. Jembatan
Penghubung antara dua bagian daratan yang terpotong oleh sungai atau kanal. Jembatan adalah elemen yang sangat populer guna mengekspresikan misi arsitektural tertentu, misalnya tradisional atau hightech, sehingga sering tampil sebagai sebuah scuilpture. Banyak jembatan yang kemudian menjadi Lengaran (landmark) bagi kawasannya, misalnya Golden Gate di San Francisco atau Tower Bridge di London.

e. Pulau buatan/bangunan air
Bangunan atau pulau yang dibuat/dibangun di atas air di sekitar daratan, untuk menguatkan kehadiran unsur air di kawasan tersebut. Bangunan atau pulau ini bisa terpisah sama sekali dari daarata, bisa juga dihubungkan dengan jembatan yang merupakan satu kesatuan perancangan.

f. Ruang terbuka (urban space)
Berupa taman atau plaza yang dirangkaikan dalam satu jalinan ruang dengan kawasan tepian air. Contoh klasik dari rangkaian urbaan space di kawasan tepian air adalah Piazza de La Signoria yang dihubungkan dengan Ponte Veccnio, di Firenze, serta Piazza San MMarco dengan Grand Canal, di Venezia.

g. Aktivitas
Guna mendukung penataan fisik yang ada, perlu dirancang kegiatan untuk meramaikan atau memberi ciri khas pada kawasan pertemuan antara daratan dan perairan. "Floating market" misalnya, adalah kegiatan tradisional yang dapat ditampilkan untuk menambah daya taarik suatu kawasan waterfront, sedang festival market place adalah contoh paduan aktivitas (hiburan dan perbelanjaan) dengan tata ruang waterfront (plaza atau urban space). Selain itu juga terdapat jenis kegiatan yang bisa ditampilkan secara berkala, misalnya festival perahu/gondola atau layang-layang.

D. FUNGSI
Mengingat bahwa salah satu sebab maraknya pembangunan di kawasna tepian air disebabkan oleh langkahnya lahan perkotaan, maka fungsi-fungsi yang diberikan pada proyek-proyek waterfront juga mencerminkan kebutuhan perkotaan pada masa kini. Meski bisa dibedakan adanya berbagaai fungsi, namun pada suatu kawasan tepian air bisa dihadirkan beberapa fungsi sekaligus. Sedangkan fungsi-fungsi dimaksud antara lain adalah:

a. Hunian
Salah satu kelebihan hunian di kawasan tepian air adalah dimungkinkannya untuk menambatkan kapal-kapal pribadi (boat/yacht) di sekitar rumah. Bentuk hunian dapat berupa rumah-rumah tunggal atau berupa kondominium. Jenis waterfront housing ini diperkenalkan di Port Grimaud, Prancis (1966), kemudian di contoh diberbagai tempat, antara lain Port Louis, Lousiana AS (1986) dan Pantai Mutiara, Jakarta (1987). Keberhasilan proyek perumahan tepi air Pantai Mutiara telah mendorong pengembangan proyek serupa di Pantai Indah Kaapuk dan perluasan Ancol.

b. Bisnis
Pembangunan kawasan bisnis berskala besar di kawasan tepian air, dipelopori oleh proyek Battery City Park di New York, telah melambungkan citra waterfront development sebagai urban project yaang menggejala di kota-kota besar dunia sejak awal tahun 80-an. Menara-menara kantor dan hotel merupakan unsur yang dominan dalam membentuk wajah kawasan tepian air. Wajah seperti inilah yang kemudian bisa disaksikan antara lain di Canary Wharf – salah satu bagian kawasan London Docklands atau CBD (Central Business District) di kawasan Olympic Village, Barcelona. Sedangkan yang masih dalam tahap konstruksi adalah kompleks Watertad di Rotterdam serta Dowtown Core Portview di Marina Bay, Singapura.



c. Komersial dan hiburan
Sejak akhir tahun 60-an kawasan bekas pelabuhan lama di kota-kota pantai Amerika telah berhasil dikembangkan menjadi sarana komersial dan hiburan/rekreasi. Bekas bangunan dermaga atau gudang dimanfaatkan menjadi pusat-pusat perbelanjaan. selain itu juga dibuat ruang terbuka (Plaza) yang secara berkala diisi dengan kegiatan pertunjukan atau keramaian lainnya. Solusi gaya Amerika ini banyak mewarnai penataan kawasan tepian air kota-kota besar lain diseluruh dunia.

E. KONSEP PENATAAN KAWASAN TEPIAN PANTAI UNTUK KOTA PALU
Permasalahan serius Kawasan Tepian Pantai berkaitan dengan kawasan tepi sungai terutama disebabkan oleh tidak adanya pedoman operasional bagi pengendalian pertumbuhan di sepanjang tepian pantai/sungai ini. Beberapa pedoman yang ada (RTRW KOTA/RDTRK) dirasakan masih terlalu umum dan belum secara konseptual meletakkan landasan pemanfaatan dan pengembangan kawasan tepian pantai/sungai. Akibatnya adalah pengembangan kegiatan di atas pantai dan sungai, serta darat tidak terintegrasi secara baik, sehingga Pemerintah Kota harus menghadapi berbagai permasalahan seperti:
-       Pemanfaatan lahan yang tidak efisien (tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya) ditinjau dari kontribusinya terhadap ekonomi kota. Inefisiensi penggunaan lahan ini terutama terjadi pada daerah pusat kota.
-       Penguasaan lahan tepi pantai dan sungai oleh perorangan yang membatasi akses warga kota ke pantai dan sungai, sehingga terjadi penguasaan sumber daya strategis (pantai & sungai) oleh sebagian kecil kelompok masyarakat.
Hal ini terjadi hampir di sepanjang lahan tepi pantai dan sungai. Rusaknya atmosphere unik dan budaya permukiman tepi pantai dan sungai yang menjadi ciri pantai dansungai di Palu, serta hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan potensi kawasan tepi pantai dan sungai sebagai generator ekonomi kota. Kecenderungan yang ada menjadikan sungai sebagai daerah belakang (tempat pembuangan) sehingga terjadi degradasi kualitas lingkungan maupun visual (estetika), Peruntukan sebagian besar lahan kawasan tepi sungai bagi kegiatan industri /pertambangan tanpa diikuti pedoman pengaturan yang lebih rinci/operasional akan menyebabkan timbulnya masalah lingkungan (polusi dan degradasi estetika kota).
Dalam melakukan pengembangan, kawasan tepi pantai dan sungai selain dianggap sebagai satu kesatuan dan kontinyuitas sistem pantai dan sungai (hulu ke hilir), juga harus dilihat sebagai daerah yang berada diantara lingkungan darat dan lingkungan air dimana sebagai daerah peralihan kawasan ini menuntut pengakuan khusus dari aspek lingkungan alamnya, aspek pengelolaan potensi, aspek kegiatan yang direncanakan, dan pilihan teknologi yang akan dipakai. Pengembangan kawasan tepian sungai menuntut keterpaduan dalam berbagai tingkatan, mulai dari yang bersifat makro (kebijaksanaan dan program) hingga keterpaduan yang bersifat mikro (fisik). Keterpaduan ini juga mencakup keterpaduan berbagai aspek, antara lain adalah aspek fungsi kegiatan-kegiatan yang akan ada (tata-ruang), intensitas pembangunan (tata bangunan), serta arahan arsitektur ruang luar dan fasade bangunan (urban desain dan landscaping).
Secara operasional apabila RTRW KOTA kota telah meletakkan landasan pengembangan kawasan tepian sungai maka selanjutnya dapat/perlu disiapkan suatu rencana terpadu (multi-aspek) yang sanggup dijadikan arahan rancangan fisik pertumbuhan kota (urban design) khusus untuk seluruh kawasan tepi pantai dan sungai di Palu.

1. Dasar Pengembangan
-       Kota Palu sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Tengah sekaligus sebagai pintu gerbang ke wilayah Sulawesi Tengah, serta terletak pada poros/sumbu Pulau Sulawesi patut memberikan citra yang prima bagi Indonesia.
-       Sesuai dengan citranya sebagai kota yang relatif didominasi air, maka dari itu berusaha terus dipertahankan dan dikembangkan / ditingkatkan dengan memanfaatkan kaidah-kaidah pengembangan "Waterfront City / Seaside City".
-       Namun demikian, Kota Palu relatif belum mengoptimalkan pemanfaatan potensi tepian laut/sungai sebagai ruang-ruang terbuka public sehingga pengembangannya akan menjadi suatu yang unik dan bisa dijadikan sebagai contoh.
-       Adanya kebutuhan yang tinggi dari masyarakat kota terhadap fasilitas-fasilitas rekreasi dan ruang terbuka hijau pada tingkat skala pelayanan kota yang cukup representatif.

2. Konsep Dasar Pengembangan
Air adalah sumber kehidupan, mengendalikan, sekaligus melengkapi kehidupan manusia dan seluruh flora-fauna di bumi. Hal utama dari air, yaitu selain menopang kehidupan secara kontinyu (berkelanjutan) juga dapat membentuk suatu lingkungan dan cara hidup yang unik, yang biasanya terjadi di tepi-tepi air. Hal ini dapat dilihat pada kota-kota pelabuhan di dunia yang kaya dan beraneka ragam, yang merupakan keinginan manusia untuk hidup di tepi air ("where water meet land") yang sesungguhnya merupakan tempat terbaik, dan terindah apabila dikelola secara bijaksana. Sesuai dengan karakteristik alamnya maka Kota Palu, dasar pengembangannya harus dilakukan dengan konsep "Waterfront / Seaside”, yang prinsipnya adalah :
-       Keberadaan kota Palu yang berada di tepi pantai yang selama ini menjadi bagian belakang kota harus dibalik orientasinya sehingga tepian pantai adalah bagian muka dari wajah kota yang harus kelihatan cantik. Dengan demikian secara keseluruhan struktur tata ruang Kota Palu polanya akan berorientasi ke pantai/ laut.
-       Karakter air dan lingkungannya menjadi ciri dari pengolahan ruang-ruang Kota Palu, dan harus dimanfaatkan keberadaannya melalui pengolahan ruang kota sehingga memberikan nilai tambah yang tinggi bagi kesejahteraan warga kota.
-       Pada lokasi-lokasi strategis yang memiliki potensi sebagai pengembangan pusat kegiatan tertentu (node) maka diperlukan pengolahan dan penataan khusus sehingga nilai lokasi tersebut memberikan manfaat yang tinggi bagi warga kota.
Konsep Penataan Kawasan Tepian Pantai ini dilakukan dengan memadukan unsur-unsur pembentuk ruang kota yang relevan, yaitu :
-       Activity Support dan Urban Open Space (sebagai unsur Node) Activity Support ini pada dasamya juga merupakan aktivitas yang mengarahkan pada kepentingan pergerakan (importance of movement), kehidupan kota dan kegembiraan/ kesenangan (excitement). Adapun bentuk dari Activity Support ini, yaitu kegiatan penunjang yang menghubungkan dua atau lebih pusat-pusat kegiatan umum yang ada di kota, antara lain dapat berupa ruang terbuka atau bangunan yang diperuntukan bagi kepentingan umum.
-       Linkage System (sebagai unsur Path), lebih diartikan pada sistem jaringan pergerakan (transport) antara fungsi kegiatan yang satu dengan fungsi kegiatan yang lain, sekaligus dapat memberikan image/citra visual yang spesifik pada kawasan kota tertentu, karena dapat menghadirkan identitas lokal. Dalam Konsep Penataan Kawasan Tepian Pantai intinya adalah mengintegrasikan setiap sistem pergerakan dengan kegiatan yang ada secara terpadu. Dalam kaitan ini maka jaringan pergerakan yang dimaksud adalah :
Ø  Pergerakan kendaraan di darat (Jalan)
Ø  Pergerakan kendaraan di air (Laut dan Sungai)
Ø  Pergerakan orang di darat (Pedestrian)
Ø  Berjalan kaki untuk ke tempat kerja atau perjalanan fungsional, jalur pedestrian dirancang untuk tujuan tertentu seperti untuk melakukan pekerjaan bisnis, makan-minum, pulang dan pergi ke dan dari tempat kerja.
Ø  Berjalan kaki untuk berbelanja yang tidak terikat waktu, dapat dilakukan dengan perjalanan santai dan biasanya kecepatan berjalan lebih rendah dibandingkan dengan orang berjalan ke tempat kerja atau dalam perjalanan fungsional.
Ø  Berjalan kaki untuk keperluan rekreasi dapat dilakukan sewaktu-waktu dengan berjalan santai. Diperlukan fasilitas pendukung yang bersifat rekreatif seperti kegiatan berkumpul, bercakap-cakap, menikmati pemandangan di sekitamya yang memeriukan ruang terbuka yang dilengkapi dengan elemen pendukungnya antara lain, tempat duduk, lampu penerangan, bak bunga dan sebagainya. Urban Open Space. Menurut sifatnya ruang terbuka kota dapat dibagi menjadi hard space (ruang keras) dan soft space (ruang lunak). Masyarakat kota selalu membutuhkan ruang terbuka kota.
-       City Orientation (sebagai unsur Urban Landmark) Landmark sebagai orientasi kota berperan pula sebagai komunikator agar dapat terciptanya dialog atau kualitas ruang kota yang menerus antara tempat kegiatan yang satu dengan tempat kegiatan yang lain, sekaligus dapat memberikan image/citra visual yang sfesifik pada kawasan kota tertentu, karena dapat menghadirkan identitas lokal.
Demikianlah sekilas konsep waterfront city, kemungkinan diterapkan di Kota Palu perlu keberanian pemberi kebijakan dan kesiapan Pemko Palu untuk merencanakannya.
Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) mengusulkan pembuatan waterfront city sebagai salah satu upaya untuk mengatasi banjir yang diakibatkan oleh pembangunan permukiman di bantaran kali. Waterfront City bisa dilengkapi dengan pusat rekreasi dan bisnis (waterfront city). "Untuk subsidi kepada masyarakat," Namun, perlu ada badan otoritas untuk mengelola waterfront city ini. Karena apabila di serahkan seratus persen pada swasta akan menyebabkan penarikan keuntungan personal.
Kota-kota yang sudah mulai membangun Waterfront City: Kota Balikpapan, Kota Pontianak, Kota Tarakan, Siak, Makassar (Pantai losari) dan kota-kota pantai lainnya di Indonesia yang sudah mulai mengarahkan pembangunan kotanya menuju Waterfront city, Mengapa Palu tidak dimulai Juga? Pemikiran pembentukan waterfront city bisa dimulai dari pembangunan pantai Talise yang mempunyai potensi dikembangkan sebagai embrio Waterfront city. SEbagai tahap awal perencanaan waterfront City, kemudian setelah itu dikembangkan tataruang pendukung lainnya serta keberadaan sarana dan prasarana kota yang memadai untuk pengembangan suatu waterfront city.. Hal penting yang ditekankan untuk penerapan waterfront city adalah pembentokan pengelola atau badan otorita nya yang bisa merekrut pihak Pemko maupun swasta (investor) bekerjasama dalam pengelolaan.

F. KESIMPULAN
Mengingat perkembangan yang terjadi di dunia internasional saat ini, serta kecenderungan yang ada di Indonesia sendiri (antara lain dengan proyek Ancol, Pantai Mutiaraa, dan Pantai Indah Kapuk), maka terlihat bahwa pengembangan kawasan tepian air masih menunjukkan prospek yang cuukup cerah. Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal penting yang berkaitan dengan pembangunan di kawasan tepian air, yaitu:

a. Keseimbangan Lingkungan
Berhubungan kawasan peraian mempunyai kondisi alamiah beserta ekosistemnya yang spesifik, maka perlu dijaga agar faktor-faktor lingkungan ini dijaga keseimbangannya. Perlu dibuatkan prasarana untuk mencegah erosi pantai, serta perlu diadakan pengaturan sirkulasi air untuk mencegah terjadinya banjir di areal yang dibangun atau kawasan sekitarnya. Habitat setempat seperti jenis-jenis burung adan ikan perlu mendapatkan perhatian agar tidak mengalami kepunahan.


b. Konteks perkotaan
Sebagai perantara antara periaran dan daratan, kawasan waaterfront perlu menempaatkan diri sebagai bagian dari kota induknya, antara lain melalui pencapaian yang mudah dan jelas serta struktur lingkungan (pola jalan, susunan massa, dsb.) yang menghargai struktur bagian kota yang berdekatan. Selain itu juga perlu mempertahankan ciri kota yang bersangkutan, melalui pelestarian potensi budaya yang ada serta pelestarian bangunan yang bernilai sejarah atau bernilai arsitektur tinggi.

c. Rencana induk pengembangan
Salah satu faktor penentu keberhasilan penataaan kawasan tepian air adalah adanya rencana induk pengembangan kawasan tersebut. Adanya rencana induk ini juga mempermudah usaha untuk menjaga keseimbangan lingkungan serta menjaga keserasian dengan konteks kota yang ada. Dalam kasus pantai Jakarta, terlihat tidak adanya rencana induk pengembangan kawasan pantai secara terpadu dan menyeluruh. Masing-masing proyek (Ancol, Pantai Mutiara, Pantai Indah Kapuk) membuat rencana pengembangan sendiri. Hal ini berakibat sulitnya melakukan pengendalian terhadap adanya kemungkinan dampak lingkungan yang disebabkan oleh adanya pola akses yang jelas dari kota menuju ketiga proyek di atas. Contoh kasus Jakarta ini menunjukkan betapa pentingnya sebuah rencana induk pengembangan yang menyeluruh.


Multiple Nuclei Zone Teory
(Teori Pusat Berganda)


A. Struktur Multiple Nuclei Zone Teory (Teori Pusat Berganda)
Teori Pusat Berganda (Harris dan Ullman,1945) menyatakan bahwa DPK atau CBD adalah pusat kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi sebagai salah satu “growing points”. Zona ini menampung sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti “retailing” distrik khusus perbankan, teater dan lain-lain (Yunus, 2000:49). Namun, ada perbedaan dengan dua teori yang disebutkan di atas, yaitu bahwa pada Teori Pusat Berganda terdapat banyak DPK atau CBD dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak selalu berbentuk bundar.
Multi-Nuclei Teori, dalam ilmu sosial, sebuah model perkotaan di lahan yang tumbuh dari beberapa kota mandiri poin dibandingkan dari satu pusat bisnis. Setiap titik yang bertindak sebagai pusat pertumbuhan untuk suatu jenis pemanfaatan lahan, seperti industri, ritel, atau berkualitas tinggi perumahan. Karena memperluas, mereka bergabung untuk membentuk satu wilayah kota. Berbagai-nuclei adalah yang paling rumit di kota-tanah menggunakan model dan satu-satunya yang memberikan beberapa informasi tentang perkembangan kota-kota di negara berkembang.
Nuclei beberapa model yang merupakan model ekologis melahirkan oleh Chauncy Harris dan Edward Ullman di 1945 artikel "The Nature of Cities." Model menjelaskan tata letak kota. Ia mencatat bahwa sementara kota mungkin telah dimulai dengan pusat bisnis, industri serupa dengan tanah-biasa digunakan dan keuangan persyaratan yang didirikan di dekat satu sama lain. Kelompok ini sangat mempengaruhi langsung lingkungan. Hotel dan restoran di sekitar bandar udara musim semi, misalnya. Jumlah dan jenis nuclei menandai pertumbuhan kota.
Teori dibentuk berdasarkan gagasan bahwa ada orang yang lebih besar akibat peningkatan gerakan kepemilikan mobil. Meningkatkan gerakan ini memungkinkan untuk spesialisasi daerah pusat (misalnya, industri berat, bisnis taman). Perkotaan adalah struktur pengaturan penggunaan tanah di perkotaan. Sociologists, ekonom, dan geographers telah mengembangkan beberapa model, di mana menjelaskan berbagai jenis usaha dan masyarakat cenderung ada di dalam perkotaan pengaturan. Tiga model yang dijelaskan dalam artikel ini. Struktur perkotaan juga dapat merujuk pada struktur tata ruang perkotaan, yang kekhawatiran pengaturan dari ruang publik dan swasta di kota-kota dan sudut konektivitas dan aksesibilitas.
Geographers CD Harris dan EL Ullman mengembangkan beberapa nuclei model 1945. Menurut model ini, sebuah kota yang berisi lebih dari satu pusat kegiatan sekitar yang berputar. Beberapa kegiatan yang tertarik ke node tertentu sementara yang lain mencoba untuk menghindari mereka. Misalnya, sebuah universitas node Mei menarik penduduk berpendidikan baik, pizzerias, dan toko buku, sedangkan yang menarik bandara Mei hotel dan gudang. Bertentangan lahan kegiatan akan menghindari kekelompokan di wilayah yang sama, menjelaskan mengapa industri berat dan tinggi pendapatan perumahan jarang ada di lingkungan yang sama.
Struktur kota yang seperti sangat jelas terlihat pada kota-kota raksasa seperti kota megapolis atau kanurbasi yang merupakan gabungan kota-kota besar. Struktur ruang kota menurut teori inti berganda adalah sebagai berikut:

Gambar
Struktur ruang kota model pusat berganda


 









Keterangan :
1.     Pusat kota atau Central busness Distrik (CBD)
2.    Kawasan niaga dan industry pangan
3.    Kawasan murbawisma, tempat tinggal berkualitas rendah
4.    Kawasan madyawisma, tempat tinggal berkualitas menengah
5.    Kawasan adiwisma, tempat tinggal berkualitas tinggi
6.    Pusat industry berat
7.    Pusat niaga perbelanjaan di pinggiran
8.    Upkota, untuk kawasan masyawisma dan adiwisma
9.    Upakota (suburb) kawasan industri
Model diatas menunjukkan bahwa kota-kota besar akan mempunyai sruktur yang terbentuk atas sel-sel (cellular sructure) dimana penggunaan lahan yang berbeda-beda akan berkembang di sekitar titik-titik pertumbuhan (growing points) atau “nuclei” di dalam daerah perkotaan. Gambar diatas mengisyaratkan adanya beberapa kesamaan antara teori konsentris dan sector.
Butir pertama adalah pada “setting” CBD yang relative memang terletak di tengah sel-sel yang lain karena berfungsi sebagai salah satu “growing Points”. Butir kedua mengenai perbatasan zone, 1, 2, 3, 4, 5 yang masing-masing berbatasan langsung dalam arti bahwa zona 1 berbatasan langsung dengan zona 2, zona 2 berbatasan langsung dengan zona 3, dan seterusnya. Butir 3 mengungkapkan adanya “distandecay principle” juga walau pada teori sector hal ini sangat samar-samar namun pada teori pusat kegiatan ganda ide ini nampak lagi walau tidak sejelas pada teori konsentris. Butir 4 adalah keberadaan “zona permukiman kelas rendah yang selalu berasosiasi dengan lokasi  wholesale light manufacturing”. Ketersediaan lapangan pekerjaan, akomodasi yang murah kiranya mengarahkan terciptanya asosiasi ini.
Sementara itu beberapa perbedaan memang dapat terlihat. Butir pertama menyangkut lokasi CBD juga. Kalau dalam teori konsentris CBD betul terletak di tengah kota secara sempurna dalam artian jarak dari batas terluar kota relative sama, namun teori sector dan kegiatan ganda tidaklah demikian. Butir kedua menyangkut jumlah CBD sebagai “growing point”. Dalam teori sector dan konsentris terdapat satu CBD (unicentered theories), tetapi dalam teori pusat kegiatan ganda terdapat lebih dari satu business district. Butir ketiga berhubungan dengan persebaran keruangannya. Dalam teori konsentris tercipta model konsentris sempurna, dalam teori sektoral bersifat sectoral dan modifikasi konsentris sedang sifat konsentris pada teori kegiatan berganda nampak samar, tetapi bersifat “cellular”.
Berikut penjelasan mengenai masing-masing zona dalam teori pusat kegiatan berganda :

·         Zona 1: Central Business District
Seperti halnya teori konsentris dan sector, zona ini berupa pusat kota yang menampung sebagian besar kegiatan kota. Zona ini berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat district spesialisasi pelayanan, seperti “retailing” distrik khusus perbankan, theater dan lain-lain.

·         Zona 2: Wholesale Light Manufacturing
Oleh karena keberadaan fungsi sangat membutuhkan jasa angkutan besar maka fungsi ini banyak mengelompok sepanjang jalan kereta api dan dekat dengan CBD. Zona ini tidak berada di sekeliling zona 1 tetapai hanta berdekatan saja. Sebagaimana “wholesale”, “Light manufacturing” yaitu: transportasi yang baik, ruang yang memadai, dekat dengan pasar dan tenaga kerja.

·         Zona 3: Daerah Permukiman Kelas Rendah
Permukiman memang membutuhkan persyaratan khusus. Dalam hal ini ada persaingan mendapatkan lokais yang nyaman antara golongan berpenghasilan tinggi dengan golongan yang berpenghasilan rendah. Hasilnya sudah dapat diramalkan bahwa golongan tinggi akan mendapatkan daerah yang nyaman dan golongan rendah akan memperoleh daerah yang kurang baik. Zona ini mencerminkan daerah yang kurang baik untuk permukiman sehingga penghuninya umumnya dari golongan rendah dan permukimannya juga relative lebih jelek dari zona 4. Zona ini dekatdengan pabrik-pabrik, kalan kereta api dan drainase jelek.

·         Zona 4: Daerah Permukiman Kelas Menengah
Zona ini tergolong lebih baik dari pada zona 3 baik dari segi fisik maupun penyediaan fasilitas kehidupannya. Penduduk yang tinggal disini pada umumnya mempunyai penghasilan lebih tinggi dari pada penduduk zona3.
·         Zona 5: Daerah Permukiman Kelas Tinggi
Zona ini mempunyai kondisi paling baik untuk permukiman dalam artian fisik maupun penyedian fasilitas. Lingkungan alamnya pun menjajikan kehidupan yang tenteram, aman, sehat dan menyenangkan. Hanya golongan penduduk yang berpenghasilan tinggi yang mampu memiliki lahan dan rumah disini. Lokasinya relatife jauh dari CBD, industry berat dan ringan, namun untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari didekatnya dibangun Business District baru yang fungsinya tidak kalah dengan CBD. Pusat-pusat baru seperti kampus, pusat rekreasi, taman-taman sangat menarik perkembangan permukiman menengah dan tinggi.

·         Zona 6: Heavy Manufacturing
Zona ini merupakan konsentrasi pabrik-pabrik besar. Berdekatan dengan zona ini biasanya mengalami berbagai permasalahan lingkungan seperti pencemaran udara, kebisingan, kesemerawutan lalu lintas dan sebagainya, sehinnga untuk kenyamanan tempat tinggal tidak baik, namun di daerah ini terdapat berbagai lapangan pekerjaan yang banyak. Adalah wajar apabila kelompok penduduk perpenghasilan rendah bertempat tinggal dekat dengan zona ini.

·         Zona 7: Business District Lainnya
Zona ini muncul untuk memenuhi kebutuhan penduduk zona 4 dan5 dan sekaligus akan menarik fungsi-fungsi lain untuk berada di dekatnya. Sebagai salah satu pusat (nuclei) zona ini akan menciptakan suatu pola tata ruang yang berbeda pula, sehingga tidak mungkin terciptanya pola konsentris, tetapi membentuk sebaran “cellular” lagi sesuai dengan karakteristik masing-masing.

·         Zona 8: Zona Tempat Tinggal Di Daerah Pinggiran
Zona ini membentuk komunitas tersendiri dalam artian lokasinya. Penduduk disini sebagian besar bekerja di pusat-pusat kota dan zona ini semata-mata digunakan untuk tempat tinggal. Walaupun demikian makin lama akan makin berkembang dan menarik fungsi lain juga, seperti pusat perbelanjaan, perkantoran dan lain-lain. Proses perkembangannya akan serupa dengan kota lama.

·         Zona: 9 Zona Industri Di Daerah Pinggiran
Sebagaiman perkembangan industry-industri lainnya unsure transportasi selalu persyaratan untuk hidupnya fungsi ini. Walaupun terletak di daerah pinggiran zona ini di jangkau jalur transportasi yang memadai. Sebagai salah satu pusat (nuclei) pada perkembangan selanjutnya dapat menciptakan pola-pola persebaran keruangannya sendiri dengan proses serupa.


B. Keunggulan Teori
Model pertumbuhan kota lanjutan oleh  CD Harris and EL Ullman (sejarah dari American Academy of Sosial dan Ilmu Politik. 242) Berdasarkan fakta bahwa banyak kota dan hampir semua kota besar tumbuh sekitar nuclei banyak daripada yang sederhana sekitar CBD. Beberapa nuclei yang pra-pemukiman yang ada, yang lain timbul dari urbanisasi dan eksternal ekonomi. Tanah khusus digunakan karena zona mengembangkan beberapa kegiatan mengusir saling; perumahan berkualitas tinggi umumnya tidak muncul di samping industri daerah, dan kegiatan lain yang tidak mampu tingginya biaya yang paling diidamkan lokasi. Mengembangkan industri baru di daerah suburban lokasi karena mereka memerlukan akses mudah, dan daerah terpencil dapat mengembangkan usaha untuk alasan yang sama. Sedangkan layout model standar umumnya di sebagian besar buku-buku referensi, lokasi dari berbagai sektor yang sangat jauh lebih bervariasi, dalam kontras dengan model konsentris.
Teori ini memiliki pola pikir bahwa semakin banyak pusat atau inti maka semakin seimbang pula kegiatan kota mengingat aktifitas yang terkonsentrasi pada suatu tempat akan menimbulkan banyak masalah seperti kepadatan. Tingkat pemenuhan kebutuhan suatu wilayah bias di seimbangkan dengan memperbanyak nuclei sebagai pusat kota/wilayah.
Teori ini juga bisa sebagi acuan dalam perencana skala proyeksi sebab kemungkinan yang terjadi dimasa yang akan datang dapat di atasi dengan banyaknya pilihan pusat kegiatan wilayah. Teori pusat berganda (Harris dan Ullman, 1945) DPR atau CBD adalah pusat kota yang letaknya relative di tengah-tengah sel–sel lainnya dan berfungsi sebagai salah in growing points. Zona ini menampung sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti retalling distrik khusus perbankan, teater dan lain-lain (yunus, 200-49). Namun, ada perbedaan dengan dua teori yang disebutkan di atas, yaitu bahwa pada teori pusat berganda terdapat banyak DPR atau CBD dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak selalu berbentuk bundar.

C. teori yang bertentangan
Teori pusat berganda (multiple nuclei) dari CD Harris and EL Ullman (1945). Teori ini merupakan bentuk kritikan terhadap teori konsentrik Burgess, struktur ruang kota dapat terjadi dalam suatu kota terdapat tempat-tempat tertentu yang berfungsi sebagai inti kota dan pusat pertumbuhan baru menyebabkan adanya beberapa inti dalam perkotaan, misalnya wilayah perindustrian, pelabuhan, kompleks perguruan tinggi dan kota-kota kecil di sekitar kota besar.
·         Teori Konsentris (Burgess,1925)
Model ini adalah yang pertama untuk menjelaskan pembagian kelompok sosial di perkotaan. Berdasarkan satu kota, Chicago, itu dibuat oleh sosiolog Ernest Burgess [1] pada tahun 1924. Menurut model ini, sebuah kota tumbuh ke luar dari titik pusat dalam serangkaian berdering. Cincin yang paling dalam merupakan pusat bisnis. Ini dikelilingi oleh cincin yang kedua, maka zona transisi, dan industri yang berkualitas miskin perumahan. Ketiga berisi cincin perumahan untuk kelas bekerja dan disebut sebagai zona independen pekerja rumah. Cincin yang keempat telah lebih baru dan lebih besar rumah-rumah yang biasanya diduduki oleh kelas menengah. Cincin ini disebut sebagai zona yang lebih baik Residences. Cincin paling luar yang disebut commuter dari zona. Zona ini merupakan orang-orang yang memilih untuk tinggal di perumahan suburbs dan mengambil harian hukuman ke CBD untuk bekerja.
Teori Konsentris (Burgess,1925) yang menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Bussiness District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage buildings).
·         Sektoral model
Kedua teori struktur perkotaan di 1939 telah diusulkan oleh seorang ekonom bernama Homer Hoyt. sektor model, diusulkan sebuah kota yang berkembang di sektor bukan berdering. Daerah-daerah tertentu dari kota yang lebih menarik untuk berbagai kegiatan, baik oleh kesempatan atau alasan geografis dan lingkungan. Sebagai kota ini tumbuh dan berkembang dan memperluas kegiatan ke luar, mereka melakukannya di apit dan menjadi sektor kota. Jika suatu daerah sudah diatur untuk tinggi pendapatan perumahan, misalnya, baru pembangunan di kabupaten yang akan memperluas dari tepi luar.
Untuk beberapa derajat teori ini adalah perbaikan pada model konsentris daripada uraian radikal. Kedua Burgess dan Hoyt diklaim Chicago didukung model mereka. Burgess menyatakan bahwa Chicago dari pusat bisnis kota itu dikelilingi oleh serangkaian berdering, rusak hanya oleh Danau Michigan. Hoyt berpendapat bahwa perumahan terbaik dikembangkan utara dari pusat bisnis di sepanjang Lake Michigan, sedangkan industri besar terletak di sepanjang jalur kereta api dan jalan-jalan ke selatan, barat daya dan barat laut. Calgary, Alberta hampir sempurna sesuai Hoyt dari sektor model.
Referensi

EW Burgess (1924) "Pertumbuhan kota: pengantar riset proyek" Publikasi sosiologis dari Amerika Serikat, 18:85-97
Hoyt H (1939): "Struktur dan perkembangan lingkungan perumahan kota di Amerika" Washington DC; Federal Housing Administrasi
CD Harris dan Ullman EL (1945), "Sifat dari kota" sejarah dari Amerika Akademi Ilmu Sosial dan Politik 242: 7-17
Yunus, Hadi Sabari. 1999. Struktur Tata Ruang Kota. Pustaka pelajar: Yogyakarta